Kapan Pep Guardiola – Pep Guardiola. Nama yang mengguncang dunia sepak bola modern. Ia bukan sekadar pelatih, tapi seorang arsitek sepak bola dengan filosofi yang bisa menghancurkan ego lawan hanya lewat penguasaan bola. Namun, di balik tumpukan trofi yang membuat museum klub penuh sesak, ada satu fakta yang sering di lupakan: Guardiola juga pernah nirgelar.
Dan pertanyaannya: kapan terakhir kali pria berkepala plontos ini gagal membawa pulang satu pun trofi dalam semusim? Jawabannya: musim 2016/2017, musim debutnya bersama Manchester City.
Musim Awal di Manchester: Jatuhnya Kaisar di Inggris
Guardiola datang ke Manchester City dengan ekspektasi langit ketujuh. Ia datang bukan hanya sebagai manajer, tapi sebagai penyelamat yang akan membawa “sepak bola total” ke Premier League. Sayangnya, kenyataan di musim pertamanya seperti menyiram air es ke wajah fans City: NOL gelar.
City finis di peringkat ketiga Liga Inggris, tersingkir di babak 16 besar Liga Champions oleh AS Monaco, dan harus puas hanya menonton Arsenal angkat trofi Piala FA, serta Manchester United meraih Piala Liga (EFL Cup).
Lebih menyakitkan lagi, gaya bermain tiki-taka yang di bawa Pep di anggap terlalu lembut untuk kerasnya Premier League. Ia seperti seniman yang tersesat di ladang perang. Saat itulah para pundit mulai bertanya: “Apakah Pep hanya hebat karena melatih Messi, Xavi, dan Iniesta?”
Statistik Musim 2016/2017: Luka yang Tak Terlupakan
Untuk pelatih sekelas Guardiola, musim itu adalah tamparan telak. Timnya kalah 6 kali di liga, kebobolan 39 gol, dan hanya mengumpulkan 78 poin, angka yang bahkan tidak cukup untuk menjadi runner-up.
Guardiola sendiri mengakui bahwa musim tersebut adalah musim terburuk dalam karier manajerialnya. Ia bahkan secara terbuka menyatakan bahwa jika dia tak memperbaiki situasi, dia bisa saja di pecat.
Dan ya, ketika Guardiola gagal menang trofi, itu bukan hanya kegagalan teknis. Itu seperti blasphemy dalam sepak bola modern. Seorang pelatih yang di hormati sebagai jenius tak mampu membawa pulang situs slot resmi? Dunia seolah menahan napas.
Kenapa Itu Jadi Momen Penting?
Karena sejak saat itu, Pep menjadi monster. Ia merombak tim, membuang pemain tua, mendatangkan mesin-mesin baru seperti Ederson, Kyle Walker, dan Bernardo Silva. Ia mengubah Manchester City dari tim kaya yang tidak di takuti, menjadi diktator sepak bola Inggris.
Musim berikutnya (2017/2018), ia menutup mulut para pengkritik dengan membawa City menjuarai Premier League dengan rekor 100 poin — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nirgelar di musim pertamanya bersama City adalah bahan bakar, luka yang di sulap jadi senjata. Tapi momen itu tetap penting dalam catatan sejarah: itu adalah musim terakhir Pep Guardiola pulang tanpa trofi.
Sebuah Standar yang Brutal
Perlu di ingat: bagi pelatih lain, finis tiga besar di liga top Eropa dan lolos 16 besar Liga Champions itu pencapaian. Tapi tidak bagi Pep. Standar untuk Guardiola adalah trofi — bukan sekadar tampil kompetitif.
Nirgelar? Itu adalah aib. Dan Guardiola tahu itu. Ia tidak bicara soal proses panjang atau transisi. Ia bicara soal revolusi.
Terakhir Kali Kosong: Ironi Seorang Juara
Sekarang, Pep Guardiola bukan hanya pelatih. Ia adalah ideologi. Tapi tetap saja, sejarah mencatat dengan jelas bahwa bahkan dewa bisa jatuh. Dan itu terjadi di musim 2016/2017.
Sejak itu, setiap musim adalah perburuan trofi. Dan selama hampir satu dekade athena slot, dia terus membuktikan satu hal:
Guardiola tidak di buat untuk kalah.